Pelantikan Pengurus 2012-2013

Pengurus HIPERMAWA PNUP dan Pengurus Pusat HIPERMAWA berfoto bersama setelah acara bersama Penasehat HIPERMAWA PNUP Bapak Salmubi,S.Sos.,S.S.,M.IM.

Pelantikan Pengurus 2012-2013

Acara Pelantikan Pengurus HIPERMAWA PNUP Periode 2012-2013. Terlihat Pengurus Pusat dan Ketua BEM PNUP terpilih (pertama dari kanan).

Minggu, 22 April 2012

Peringatan Dies Natalies ke-26 PNUP

Monday, 16 April 2012 03:10

Makassar, 16 April 2012 – Memperingati Dies Natalies yang ke-26, Politeknik Negeri Ujung Pandang (PNUP) menggelar berbagai rangkaian acara yang berlangsung selama April 2012. Rangkaian acara tersebut meliputi kunjungan ke panti asuhan, workshop penulisan jurnal internasional,  serta kuliah umum dan penyerahan bantuan beasiswa dari Bank BTN yang telah dilaksanakan pada minggu pertama dan kedua April 2012 sedangkan acara lain seperti pemilihan Polytechnic Ambassador, berbagai pertandingan olahraga, donor darah dan edukasi kesehatan segera dilaksanakan pada minggu ketiga dan keempat . Rangkaian acara Dies Natalies akan ditutup dengan rapat senat terbuka pada 30 April 2012.
Tema yang diangkat pada peringatan Dies Natalies kali adalah “ Membangun Paradigma Baru Pendidikan Tinggi PNUP”. Tema tersebut sejalan dengan tuntutan yang diemban oleh PNUP selama ini sebagai pendidikan tinggi yang berbasis pada keahlian terapan. Saat ini program studi yang ada di PNUP diarahkan berbasis kepada relevansi dengan kebutuhan industri ataupun sektor riil lainnyaIni membuktikan bahwa saatnya PNUP harus melakukan re-evaluasi sehingga kehadirannya memberikan manfaat yang sebanyak-banyaknya dan sanggup memecahkan berbagai masalah bukan menjadi bagian dari masalah bangsa saat ini yaitu menghasilkan pengangguran yang terdidik.
Sejak diawal berdirinya hingga saat sekarang ini tentu semakin beraneka tantangan dan perubahan yang dihadapi oleh PNUP.  Kecenderungan-kecendurangan perubahan baik internal maupun eksternal yang berkembang secara global dan kebutuhan stakeholders terhadap lulusan politeknik harus harus diantisipasi oleh PNUP yang telah menghasilkan lulusan atau alumni berbagai bidang ilmu dan kompetensi  dengan jumlah alumni sekitar 15 ribu orang. Sepanjang perjalanan 26 tahun, PNUP sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi berupaya memegang peran dalam membantu pemerintah untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, membantu memotong mata rantai kemiskinan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menyediakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan industri serta mampu menciptakan wirausahawan harus mampu menjawab tantangan sekaligus peluang yang semakin kompleks ke depannya.
PNUP saat ini mengelola 18 program studi D3 dan D4 yang terfokus pada bidang engineering dan bisnis dengan jumlah mahasiswa yang aktif kuliah sebanyak 2500 orang. Guna menampung jumlah mahasiswa yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan begitu pula proses belajar mengajar yang selalu mengalami dinamika seiring dengan perkembangan teknologi yang berkembang dengan pesat, PNUP saat ini tengah membangun kampus kedua di hamparan lahan seluas kurang lebih tiga puluh hekta are di daerah Moncongloe Kab. Maros yang rencananya sudah akan mulai digunakan pada tahun akademik 2012/2013 oleh jurusan bisnis dan akuntansi. Setelah pembangunan kampus baru selesai dibangun secara keseluruhan, PNUP berencana akan menambah beberapa program studi baru lainnya yang masih merupakan varian dari bidang engineering.
Sebagai politeknik terbesar di kawasan timur Indonesia, PNUP semakin berbenah untuk menjadi pusat pendidikan vokasi  dengan sumber daya manusia yang handal. Berbagai sarana dan prasarana penunjang kegiatan dan penelitian terus dilengkapi untuk memperkuat pengembangan pendidikan tinggi politeknik. Melalui Dies Natalies ke-26 PNUP diharapkan dapat membangkitkan semangat dan motivasi tinggi dari segenap civitas akademika PNUP dalam menunjang pelayanan peningkatan kualitas pendidikan bagi mahasiswa sehingga bermuara pada percepatan pembentukan generasi intelektual yang sarat dengan kecerdasan dan keterampilan yang diharapkan mampu menjadikan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi terdepan.

Kamis, 12 April 2012

Foto La Maddukkelleng

Peluncuran Foto La Maddukkelleng, Pahlawan Nasional dari Wajo


Tiga belas tahun setelah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998, akhirnya foto diri La Maddukkelleng diluncurkan oleh Pemerintah Kabupaten Wajo. Prosesi peluncuran yang dilaksanakan dalam momen peringatan Hari jadi Wajo ke 613 itu berlangsung khidmat, diiringi pembacaan puisi oleh Budayawan Sulawesi Selatan H. Udhin Palisuri.


13333651281871694712
La Maddukelleng
Arung Matowa Wajo

La Maddukkelleng diperkirakan lahir di Peneki pada tahun 1700, beliau merupakan putera dari La Mataesso Arung Peneki dan We Tenriangka Arung Siengkang. La Mataesso adalah cucu La Sangkuru Patau Mulajaji Sultan Abdurrahman. Arung Matowa Wajo yang pertama memeluk agama Islam. Garis keturunannya dapat dilacak langsung dari La Taddampare Puang ri Maggalatung, Arung Matowa Wajo IV. Sementara itu ibunya adalah saudara kandung La Salewangeng To Tenriruwa.
Masa kanak-kanak beliau dijalani di Peneki di mana kedua orang tuanya tinggal. Sebagai kanak-kanak, La Maddukkelleng memang telah menunjukkan bakat sebagai pemimpin. Hal ini tercermin dari kemampuannya mengendalikan setiap permainan dan mengarahkan teman-temannya.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng to Tenriruwa untuk menghadiri pesta perayaan sehunbungan dengan pemasangan giwang (Matteddo) untuk puterinya I Wale di CenranaE. La Maddukkelleng turut serta dalam rombongan Arung Matowa dan ditugaskan oleh pamannya sebagai pemegang tempat sirih raja.
Sebagaimana lazimnya, dalam setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah lomba perburuan rusa (maddengngeng) dan pertandingan sambung ayam (mappabbitte).
Pada saat pesta sabung ayam tersebut sedang berlangsung, ayam putera Raja Bone dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Tapi kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahwa tidak ada yang menang dan kalah dalam pertarungan itu. Perbedaan pendapat itulah yang kemudian menyebabkan terjadinya keributan yang berujung pada perkelahian.
La Maddukkelleng yang pada saat itu baru saja disunat dan lukanya belum sembuh benar, turut serta dalam perkelahian yang mengakibatkan jatuhnya korban di pihak Bone.
Dalam suasana yang Rombongan Arung Matowa Wajo beserta para pengikutnya terpaksa melarikan diri ke Wajo melalui Sungai Walennae. Beberapa saat setelah Arung Matowa Wajo La Salewangeng tiba di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan ke Raja Bone untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak berada Wajo.
Walaupun tidak percaya pada penjelasan Arung Matowa mengenai keberadaan La Maddukkelleng, utusan raja Bone itu kembali ke Bone dengan tangan hampa. Mareka tidak bisa memaksakan kehendak untuk membawa La Maddukkelleng karena ada ikrar yang telah disepakati antara kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
Sebelem berangkat, La maddukkeleng menikah dengan perempuan yang bernama I penno Matanna di Patila. Yang melahirkan anak bernama La Tombong To Massekutta.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, La Maddukkelleng memutuskan untuk meninggalkan Kerajaan Wajo. Iapun datang meminta restu kepada Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintahan Wajo (Arung Simettempola). Niat La Maddukkelleng itu disetujui oleh Arung Matowa dan Arung Simettengpola. Bahkan salah seorang Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo yaitu La Tenri Wija Daeng Situju, berpesan kepada La Maddukkelleng agar dalam perantauannya, La Maddukkelleng tetap mengingat negeri Wajo.
Tidak banyak bekal yang dibawa La Maddukkelleng. Dalam penjelasannya kepada Arung Matowa dan Arung Simettengpola, ia hanya hanya membawa tiga macam bekal, yaitu: pertama lemahnya lidah, kedua tajamnya ujung keris dan yang ketiga ujung kelaki-lakian.
Berangkatlah La Maddukkelleng bersama pengikutnya menuju Johor Malaysia dengan menggunakan perahu layar. Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan kelas menengah, yaitu La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa. La Banna To assa, La Juma, Cambang Balolo, La Dalle Arung Ta
Dalam perjalanan ia bertemu dengan saudaranya yang bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya yang sudah lama menetap di Johor.
Pada awalnya La Maddukkelleng menetap di Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di Kerajaan Pasir, Kalimantan Timur. Di sini, La Maddukkelleng menikah dengan Puteri Sultan Sepuh Alamsyah Raja Pasir yang bernama Anding Anjang. Dari pernikahannya itu, La Maddukkelleng dikaruniai seorang Putri yang bernama Aji Doya.
Putrinya inilah yang kemudian menikah dengan Sultan Aji Muhammad Idris, Raja Kutai sehingga namanya berubah menjadi Aji Putri Agung. Kemudian melahirkan anak bernama AJi Muhammad Muslihuddin atau Aji Imbut
Selama tinggal di Pasir, La Maddukkelleng juga melahirkan anak-anak yang masing-masing bernama : Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.
Selama dalam perantauannya, rombongan di bawah pimpinan La Maddukkelleng tersebut tetap memegang adat istiadat, tata krama dan norma Kerajaan Wajo sebagai ciri khas dan karakteristiknya.
Sementara itu, Kerajaan Wajo berhasil diduduki oleh kerajaan Bone. Kekuasaan Arung Matowa dikebiri sehingga tidak dapat menjamin hak-hak kemerdekaan rakyat Wajo. Banyaklah orang Wajo yang pergi meninggalkan kampung kelahirannya, berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo.
Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi semakin padat sehingga La Maddukkelleng melakukan perundingan dengan pengikutnya untuk mengatasi masalah tersebut. Akhirnya diputuskan bahwa sebagian pengungsi dari Wajo itu akan mencari tempat pemukiman baru. Dan lokasi yang mereka pilih adalah Kutai.
Ketika rombongan pengungsi itu tiba di Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai, Sultan Aji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan untuk memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Permintaan itu tidak serta merta diterima, karena sang raja berpikir bahwa ada kemungkinan banyak kesulitan bagi Kutai yang akan ditimbulkan oleh para pendatang itu, sebagaimana pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Namun demi menghormati La Maddukkelleng, Raja Kutai akhirnya menyetujui pemintaan itu dengan syarat, seluruh pendatang itu patuh pada aturan dan ketentuan raja Kutai.
La Mohang menyetujui syarat itu dan berjanji bahwa apabila ia diberikan sebidang tanah untuk bermukim di Kutai, ia akan membangun daerah itu dan mematuhi perintah raja. Raja Kutaipun memberikan petunjuk kepada La Mohang untuk mencari sebidang tanah di wilayah kerajaan Kutai di daerah berdaratan rendah dan di antara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu.
Maka berangkatlah para pengungsi orang bugis itu dengan berlayar di sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah berlayar selama beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di sebuah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, yang terapung di atas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan rumah lainnya sama. Hal itu melambangkan bahwa tidak ada perbedaan derajat antara orang bangsawan dan bukan bangsawan. Semua orang “sama” derajatnya. Lokasi itu terletak tak jauh dari kampung Mangkupalas
Sementara itu, La Maddukkelleng diangkat menjadi Sultan Pasir. Iapun lalu mengangkat La Banna To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang kuat, yang terus menerus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar.
Setelah menjabat sebagai Sultan Pasir selama lebih kurang sepuluh tahun, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap La Maddukkelleng. Utusan itu membawa surat yang isinya memanggil La Maddukkelleng agar kembali ke tanah Wajo yang sedang berada dalam jajahan Kerajaan Bone. Kondisi itu mengetuk semangat La Maddukkelleng dan mengobarkan tekadnya kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya.
La Maddukkelleng mengumpulkan pasukan dan persenjataannya sehingga terbentuklah sebuah armada yang besar. Armada ini menggunakan perahu bintak, jenis perahu yang bisa melaju dengan cepat. Perahu tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibeli dari orang-orang Inggris.
Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Setelah terjadi pertempuran selama dua hari, Armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur.
Saat berlayar antara pulau Lae-lae dan Benteng Rotterdam, armada La Maddukkelleng ditembaki oleh pasukan Belanda dengan meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) bahkan mengirim satu unit pasukan yang terdiri atas serdadu Belanda dibantu Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae untuk menghadang. Namun La Maddukkelleng bersama pasukannya berhasil menggagalkan upaya itu dan membunuh hampir seluruh anggota pasukan itu.
La Maddukelleng mendarat di Gowa untuk menemui teman seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa. La Maddukkelleng juga bertemu dengan Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana untuk membicarakan strategi dan taktik yang akan dipergunakan menghadapi tentara Belanda.
Armada La Maddukkelleng kemudian melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Batari Toja merangkap Datu Soppeng yang juga merupakan sekutu Belanda, mengirim Gallarang Bontoala sebagai utusan untuk mencegah armada La Maddukkelleng memasuki Wajo. Hal terjadi akibat Ratu Bone masih menganggap La Maddukkelleng sebagai orang yang bersalah terhadap Bone. Melalui Gallaran Bontoala, Ratu Bone Tapi La Maddukkelleng mengirimkan pesan kepada Ratu Bone bahwa ia menghormati sang Ratu dan tidak akan ke Singkang melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping.
Gagal membendung laju armada La Maddukkelleng, Ratu Bone mendesak Arung Matowa Wajo agar menyerang armada La Maddukkelleng dan tidak memberinya kesempatan masuk ke Wajo. Tapi Arung Matowa Wajo menolak dengan alasan bahwa Wajo adalah negeri dimana hak-hak asasi rakyat dijamin. Hal ini berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476).
Akhirnya pada Tanggal 24 Mei 1736, La Maddukkelleng dan pasukannya berhasil tiba di Singkang melalui Doping. Ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan terjadi peperangan dengan pasukan Bone yang berakhir dengan kekalahan di pihak pasukan Bone.
Seiring dengan semakin lanjutnya usia La Salewangeng Arung Matowa Wajo, maka atas kesepakatan Arung Ennengnge (Dewan Adat), La Maddukkelleng diangkat menjadi Arung Matowa Wajo XXXIV. Penobatannya berlangsung di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736.
Pada tahun 1737, La Maddukkelleng mengajak Bone dan Sopppeng untuk menyerang Belanda di Makassar. Dalam pandangannya, selama Belanda bekuasa di bumi Sulawesi, maka seluruh kerajaan bugis Makassar lambat laun akan mengalami kehancuran. Awalnya ajakan ini diterima oleh Bone dan Soppeng, akan tetapi dalam perjalanan, Bone dan Soppeng mundur. Sehingga La Maddukkelleng memutuskan untuk berangkat sendiri bersama pasukannya ke Makassar.
Dalam dua ekspedisi penyerbuan yang dilakukan oleh La Maddukkelleng ke Makassar, keduanya gagal, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Wajo. Pada masa itu, La Maddukkelleng berusaha memperkuat pertahanannya, karena setelah diserang dua kali, Belanda pasti berniat melakukan serangan balasan ke Wajo.
Dugaan La Maddukkelleng benar adanya. Pada tahun 1741, pasukan gabungan VOC, Bone, Soppeng, Luwu, Buton dan Tanete, yang dipimpin oleh Admiral Adriaan Smout sudah berhasil merebut Lagosi dan melancarkan serangan Artileri ke Tosora, namun dengan gigih La Maddukkelleng dan pasukannya berhasil mempertahankan diri. Selanjutnya, dengan menggunakan taktik perang yang cerdik, La Maddukkelleng yang dibantu oleh Pilla Pallawa Gau, dan La Banna To Assa serta menantunya Sultan Aji Muhammad Idris berhasil memukul mundur pasukan gabungan VOC dari Lagosi.
La Maddukkelleng, Daeng Simpuang, Arung Singkang, Sultan Pasir, Arung Peneki, mempunyai wawasan yang luas dibandingkan dengan raja-raja dan para pejabat kerajaan-kerajaan lain yang ada di Sulawesi, termasuk kawan-kawan terdekatnya. Ia berusaha menggalang persatuan raja-raja Bugis Makassar dengan tujuan mengusir orang-orang Belanda dari Sulawesi, karena dalam pandangannya, selama ada dominasi bangsa asing di Sulawesi, maka semua kerajaan akan hancur. Pembebasan Tanah Wajo bukanlah tujuan akhir yang ingin beliau capai, karena kemerdekaan wajo hanya merupakan tahapan penting untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu memperjuangkan kemerdekaan dan Kebebasan Indonesia, agar dapat mengatur dirinya sendiri. La Maddukkelleng adalah pejuang kebebasan dan kemerdekaan yang lahir jauh mendahului zamannya.
Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
Akhir pemerintahan La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo ke tiga puluh satu berakhir ketika banyak anggota pasukannya yang sudah jenuh berperang. Hal itu melemahkan La Maddukkelleng, dan akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai Arung Matowa Wajo. Beliau meninggal pada tahun 1765 dan dikebumikan di Sengkang, tepatnya di Jalan A. P. Pettarani Sengkang.

Minggu, 08 April 2012

La Maddukkelleng di Perantauan dan Asal Usul Kota Samarinda

La Maddukkelleng bersama We Tenriangka Arung singkang, dan pengikut-pengikutnya, mula-mula berlayar dan menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat), kemudian pindah dan menetap di kerajaan Pasir, Kaltim.

Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).

Pada saat itu, pemerintah Kutai dipimpin oleh raja bernama Adji Pangeran Dipati Anom Panji Mendapa Ing Martadipura, yang kerap pula disebut Adji Yang Begawan, memerintah pada tahun 1730 – 1732. setelah wafat, Adji Yang Begawan terkenal dengan sebutan Marhum Pemarangan. La Maddukkelleng, mempunyai tiga orang putera, yang kemudian beranak cucu dan berkeluarga dengan raja-raja di Kaltim. Ketiga anakanya ialah, Petta To Sibengngareng, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Pasir dan Kutai, Petta To Rawe, yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Berau dan Kutai, serta Petta To Siangka yang turunannya kawin-mawin dengan raja-raja Bulungan dan Sulawesi Tengah.

Dalam rombongan La Maddukkelleng tersebut, ikut pula delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Maohang Daeng Mangkona, La pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siaraje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng punggawa. Karena tanah Wajo telah diduduki oleh kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya berlayar menuju Pasir dan menetap di Sungai Muara Kendilo. Tempat pemukiman baru tersebut lambat laun menjadi sesak akibat semakin bertambahnya migrasi dari tanah Wajo. Melihat hal itu, La Maddukkelleng mengadakan perundingan dengan pengikutnya. Hasilnya antara lain, diputuskan agar sebagian pengungsi Wajo itu mencari tempat pemukiman baru. Mereka pun memilih Kutai sebagai tanah pemukiman baru. Ketika rombongan itu sampai ke Tanah Kutai, La Mohang daeng Mangkona menghadap Raja Kutai Adji Pangeran Dipati Anom Ing Martadipura atau Marham Pemarangan. Ia memohon agar diizinkan menetap di tanah Kutai. Tetapi, sang raja berfikir, mugkin saja orang-orang itu malah akan membuat kesulitan seperti yang pernah dilakukan seorang temannya yang meminta hal serupa berpuluh tahun lampau. Pikir punya pikir, raja Kutai akhirnya setuju dengan satu syarat, agar patuh pada perintah raja.

La Mohang setuju dan berjanji apabila diberikan sebidang tanah ia akan mencari kehidupan di tanah Kutai, membangun daerah itu dan patuh pada titah raja. Disaksikan sejumlah pembesar kerajaan, sang raja bertitah “carilah sebidang tanah di wilayah kerajaanku ini di sebuah daerah berdaratan rendah dan di antara dataran rendah itu, terdapat sungai yang arusnya tidak langsung mengarah dari hulu ke hulir, tetapi mengalir dan berputar di antara dataran itu”. Orang-orang bugis itu pun berlayar sepanjang Sungai Mahakam mencari tanah seperti yang telah ditentukan raja. Setelah beberapa lama berlayar mengitari Tanah Kutai, akhirnya mereka menemukan tanah dataran rendah yang sesuai dengan titah raja. Di tempat inilah kemudian mereka membangun rumah rakit, berada diatas air, dan ketinggian antara rumah yang satu dengan lainnya sama. Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang berada di sekitar muara sungai yang berulak, dan di kiri kanan sungai daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman baru tersebut dinamakan SAMARENDA atau lama-kelamaan ejaannya menjadi "SAMARINDA". Tempat itu lalu menjadi pemukiman orang-orang bugis wajo. Letaknya tak jauh dari kampung Mangkupalas, kampung tua di kecamatan Samarinda Seberang bagian tepi Sungai Mahakam, tempat pusaran air itu sekarang menjadi kompleks industri kayu lapis. Menurut cerita setempat, La Mohang Daeng Mangkona pengikut La Maddukkelleng itulah yang dianggap berjasa, mengembangkan Kampung Mangkupalas. Sebuah kampung tua yang kemudian berkembang menjadi Samarinda Seberang.

Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.

Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo

Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.

Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.

Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.

Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.

Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis di hadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.

La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “Petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo

La Maddukkeleng

La Maddukkelleng (lahir: Wajo, Sulawesi Selatan, 1700 - wafat: Wajo, Sulawesi Selatan, 1765) adalah seorang ksatria dari Wajo, Sulawesi Selatan. Pada masa kecilnya hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidak adilan penyelenggaraan acara tersebut dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian. Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung, (ujung mulut, ujung tombak, dan ujung kemaluan) ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut. Dia berhasil menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone. La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo

LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.

Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).

Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.

Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.

La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.

Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714

Kukar Usul Gelar Pahlawan untuk Sultan Adji Muhammad

Himpunan Pelajar Mahasiswa Kutai Kartanegara Kal-Tim (HPMK3T) Makassar dan Himpunan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Wajo (Hipermawa), Senin (25/7) menggelar seminar pengusulan gelar pahlawan nasional bagi Sultan Adji Muhammad Idris, di Ball Room Hotel Clarion, Makassar.

SEMINAR 
bertema "Menguak Sejarah Kedua Tokoh Sultan Adji Muhammad Idris dan Lamaddukelleng" yang merupakan wujud patriotisme dua generasi sebagai jati diri bangsa. Seminar yang dibuka Asisten III Setkab Wajo Andi Maddukelleng Oddang dihadiri 200 peserta yang terdiri para mahasiswa, sejarawan dan tokoh masyarakat. Selain itu juga hadir sejumlah pejabat di antaranya Muspida Provinsi Sulawesi Selatan, Muspikab Wajo dan Kepala Dinas Sosial Kukar Drs Mursito MM beserta rombongan yang mewakili Pemkab Kukar.
Dalam seminar tersebut panitia menghadirkan para panelis andal seperti Prof DR Anhar Gong Gong, Prof DR Andi Imah Kesuma dan Adji Bambang Imbran yang semuanya dikenal sebagai budayawan.
Ketua panitia Abdillah mengatakan, terlaksananya kegiatan ini tidak terlepas bantuan Pemkab Kukar melalui Dinas Sosial Kabupaten, dan kerjasama antara mahasiswa HPMK3T Makassar dan mahasiswa Hipermawa.
Mengenai digelarnya seminar ia menyatakan, sejarah haruslah sejalan dengan literatur (penelitian) yang ada. Namun sejarah perjuangan para tokoh pejuang seringkali menimbulkan banyak perbedaan antara satu literatur dengan literatur lainnya.
Seperti tokoh pejuang dari Kukar Sultan Adji Muhammad Idris yang merupakan Sultan Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke-14 yang berjuang bersama Lamaddukelleng untuk membebaskan Wajo dari cengraman penjajah Belanda.Abdillah mengatakan Lamaddukelleng sudah menjadi tokoh pejuang yang mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan nasional. Namun Sultan Adji Muhammad Idris belum mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan nasional.
"Padahal sejarah mengungkapkan perjuangan Sultan Adji Muhammad Idrisyang rela meninggalkan kursi tahta kerajaannya, beserta rakyatnya bahkan anak istrinya demi membantu Aroe Paneki (raja Wajo), Lamaddukelleng mengusir Belanda dari bumi Sulawesi Selatan," ujar Dillah yang juga Sekretaris HPMK3T Makassar.
Sementara itu Kepala Dinas Sosial Kukar Mursito dalam sambutannya, mengatakan Pemkab Kukar mengucapkan terima kasih dan rasa bangga kepada mahasiswa Kukar dan Wajo yang pada hari ini telah  melaksanakan kegiatan tersebut dengan anggaran yang seminim-minimnya.
“Bupati Kukar Rita Widyasari menitip pesan kepada kami untuk menyampaikan pesan kepada para panelis atau narasumber, terutama Bapak Anhar Gong Gong mudah-mudahan dalam seminar kali ini pengusulan nama Sultan Adji Muhammad Idris sebagai pahlawan nasional dapat terwujud. Karena Lamaddukelleng sendiri telah diangkat menjadi pahlawan nasional oleh pemerintah pusat, melalui Dirjen Sosial dan salah satu tim penyusunnya adalah Prof DR Anhar Gong-gong," ujar Mursito.
Mursito juga berharap selain nama Sultan Adji Muhammad Idris, masih ada dua nama pejuang Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang juga akan diusulkan, yakni Sultan Muhammad Salehuddin dan Panglima Awang Long Singopati untuk diberikan gelar sebagai Pahlawan Nasional.
"Kami mengharapkan seminar ini menghasilkan kesepakatan bersama baik dari tim panelis maupun peserta untuk mengusulkan dan meloloskan Sultan Adji Muhammad Idris menjadi pahlawan nasional agar Kukar juga mempunyai seorang pahlawan nasional seperti halnya daerah lain," kata Mursito. (hmp05)


Sumber : http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=108077

Sabtu, 07 April 2012

Sejarah Wajo

Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1450, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya beliau bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo
Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi. Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Beliau juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Wajo. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.